Tampilkan postingan dengan label Pengawetan mentah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengawetan mentah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Oktober 2013

Pengawet biji buah kapayang

Telah dilakukan penelitian zat pengawet dari bahan alami biji buah kapayang (Pangium edule Reinw.) yang digunakan untuk pengawetan ikan segar yang didapatkan dari Desa Sikabau DharmasRaya. Biji buah kapayang diekstraksi terlebih dahulu. Hasil ekstraksi ini dilakukan identifikasi dengan menggunakan pereaksi kimia antara lain yaitu AgNO3 0,1 N, FeCl3 1%, K3FeCN6 P 1% b/v, HCl 0,1 N, NaOH 0,1 N, KI 0,1 N menunjukkan hasil yang tidak sama dengan pembanding (KCN). Ikan segar yang diolah dengan perbandingan (1:1) yaitu antara biji kapayang dengan garam memiliki konsentrasi terbaik jika dibandingkan dengan konsentrasi lain.
Analisa asam amino dari protein ikan sebelum dan sesudah diolah berbeda, ikan tanpa perlakuan mengandung asam amino lebih banyak dari pada ikan  yang diberi perlakuan pengawetan.
Bahan pengawet merupakan bahan kimia yang berfungsi untuk memperlambat kerusakan makanan baik yang disebabkan mikroba pembusuk, bakteri, ragi maupun jamur dengan cara menghambat, mencegah, menghentikan, proses pembusukan dan fermentasi dari bahan makanan (W. Norman, 1988; Hembing, 2000). 
Di Indonesia pemanfaatan tumbuhan untuk makanan banyak digunakan, diantaranya tumbuhan Pangium edule Reinw. Tumbuhan ini dikenal dengan nama Picung, Pucung, Kepayang, Simauang, atau Hapesong. Di Banten dan Sumatra Barat biji dari tumbuhan ini biasanya dipakai untuk mengawetkan ikan (Heyne. K, 1987). 
Selain sebagai pengawet ikan, masih banyak kegunaan tumbuhan ini. Misalnya kayunya dapat dipakai untuk batang korek api, daunnya digunakan sebagai obat cacing dan bijinya sebagai anti septik (Irfansyah, 2006). 
Pengawet memang dibutuhkan untuk mencegah aktivitas mikroorganisme. Dengan demikian penggunaan bahan tambahan diatur sedemikian rupa untuk mempertahankan makanan tetap sehat Penggunaan pengawet harus mempertimbangkan keamanan pengawet tersebut, tetapi pada kenyataannya masih sering terjadi dalam penggunaan pengawet, tanpa mengindahkan kesehatan konsumen seperti penggunaan formalin pada pengawetan ikan (Buckle, 1987). 
Masyarakat yang berada di daerah pedesaan dalam pengawetan ikan sering menggunakan tumbuhan sebagai pengawet (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1999). Makanan merupakansalah satu mata niaga yang paling utama dalam ekonomi suatu masyarakat. Didalam makanan sering tercemar seperti jamur, bakteri, kapang yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan (Winarno, 1993). Biji buah Pangium edule Reinw mengandung senyawa-senyawa yang mampu memberikan efek pengawet terhadap ikan. Kandungan kimia biji kapayang yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan antara lain vitamin C, ion besi, tannin, flavonoid, saponin,  karoten dan polifenol (Irfansyah, 2006). 
Berdasarkan hal diatas maka dilakukan penelitian terhadap biji kapayang yang digunakan sebagai pengawet ikan segar baik tunggal dan kombinasi dengan NaCl serta mencari persentase yang baik bagi pengawetan ikan dengan melakukan analisa protein ikan yang telah diawetkan dengan KLT. 

http://repository.unand.ac.id/1004/1/PENGAWETAN_IKAN_SEGAR_DENGAN_MENGGUNAKAN_BIJI_BUAH_KAPAYAN1%28.doc

Pengawet Kitosan

Akhir-akhir ini banyak masyarakat membicarakan pengawetan pangan, khususnya penggunaan formalin yang dilarang oleh Depkes untuk pengawetan.
Formalin bukanlah bahan pengawet untuk makanan, namun merupakan antiseptik mikroba yang hanya digunakan dalam pengolahan produk non pangan seperti plastik. Oleh karena itu para peneliti pangan telah memberikan beberapa alternatif bahan pengganti formalin, seperti picung dan kitosan (Nuraida et al., 2000; Anon., 2006a). Bahan-bahan pengganti tersebut diharapkan mampu memberikan jaminan keamanan pangan bagi konsumen seiring dengan tuntutan masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya keamanan pangan.
Kitosan merupakan produk turunan dari polimer kitin, yang dihasilkan dari ekstraksi limbah pengolahan industri udang dan rajungan. Kadar kitin dalam udang berkisar antara 60–70% dan bila diproses menjadi kitosan menghasilkan 15–20% (Anon., 2001). Kitosan dapat diaplikasikan antara lain sebagai penghambat pertumbuhan bakteri, fungi termasuk yang patogen, serta mengimobilisasi enzim dan mikroba. Sebagai agen antibakteri, pertumbuhan E. coli telah dihambat dengan konsentrasi lebih dari 0,02% kitosan dalam media kulturnya. Pertumbuhan beberapa patogen tanaman juga terhambat dengan adanya kitosan. Berkaitan dengan sifat tersebut, pemanfaatan kitosan sebagai fungsi aditif untuk pengolahan pangan telah dikembangkan seperti pengemas pickle kitosan (Hirano, 1988).
Telah dilaporkan pula tentang aktivitas imunologi dari turunan kitin termasuk kitosan yakni kemampuannya menstimulasi resistensi inang pada tikus dalam melawan bakteri seperti Staphylococcus aureus, E. coli, dan kapang seperti Candida albicans sehingga dapat menahan infeksi dan melawan pertumbuhan sarkoma. Studi in vitro menunjukkan bahwa kitosan terutama dalam bentuk larut air dapat memacu makrofag ke bentuk fagositosis non spesifik sebaik aktivitas sitotoksis. Kitosan yang bersifat tidak larut air berbeda secara signifikan dalam menstimulasi respon humoral (rata-rata 250%). Dosis efektifnya adalah 10 x lebih tinggi daripada turunannya yang bersifat larut air. Aktivitas imunoadjuvan dari kitosan telah menerangkan pengaruh derivat kitin dalam hal resistensinya melawan infeksi mikroba dan
pertumbuhan tumor ( Knapczyk et al., 1988).
Kitosan banyak digunakan untuk keperluan biomedis, karena sifat-sifat kitosan yang dapat dengan cepat menggumpalkan darah, bersifat hipoalergenik dan memiliki sifat antibakteri alamiah (Anon., 2006b).
Kitin menekan populasi total kapang dan menstimulasi litik dan antibiotik yang diproduksi mikroorganisme seperti Actinomycetes. Efek anti kapang kitin adalah secara tidak langsung, namun melalui mikroorganisme tanah yang bersifat antagonis.
Secara invitro, bentuk deasetilasi dari kitin, kitosan menghambat pertumbuhan kapang secara signifikan, meskipun beberapa strain atau spesies kapang kurang sensitif. Kitosan tidak hanya berinteraksi secara spesifik dengan kapang, tetapi juga mempengaruhi jaringan, menghambat pertumbuhan sel jaringan dalam suspensi, menginduksi akumulasi fitoaleksin (agen antimikroba dengan berat molekul rendah dan sebagai inhibitor proteinase serta mengubah permeabilitas membran). Kitosan dilaporkan juga mengaglutinasi beberapa jenis bakteri dan khamir (Leuba & Stossel, 1985).
Berdasarkan sifat ini beberapa pakar mengklaim bahwa kitosan dapat digunakan sebagai pengganti formalin yang dapat mengawetkan ikan segar maupun ikan asin (Anon., 2006 a). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konfirmasi apakah kitosan mempunyai sifat pengawet pada cumi-cumi segar.